• Menu
  • Menu

Futagawa Honjin Matsuri: Ditelanjangi Ibu-Ibu Demi Menjadi Samurai

Tanpa mengetahui apa-apa, kami mengikuti Kaasan yang mengantar kami ke tempat ambil bento makan siang lalu ke Taikukan. Sampai disana, kami didudukkan di kursi dan disuruh lepas jaket. Lepas baju. Dan tentu saja, celana.

Minggu 10 November, saya mengikuti festival lagi. Di dekat kampus saya saja, daerahnya namanya Futagawa (二川) alias Dua Sungai. Cocok juga tuh dengan nama daerah rumah saya di Tanjungbalai, Sungai Dua. Disini, terdapat festival daerah Futagawa tersebut. Mungkin levelnya setingkat di bawah kota, kecamatan kali ya… Atau desa.

Dulu, kalau saya tidak salah dengar dari sensei yang nganter saya pulang, ini daerah dipegang sama daimyou yang cukup penting hubungannya sama ibukota gitu. Terus ada festival karena naon gitu. Lumayan gak ngerti juga sama bahasa Jepangnya.

Saya datang tanpa mengetahui festival ini isinya apa atau saya berpartisipasi dalam hal apa. Ngapain, intinya. Saya juga baru tahu sekitar 3 hari sebelumnya. Saya sih datang menggantikan ketua PPI Toyohashi yang berhalangan hadir karena ada English Village di SMA lain. Komite festivalnya minta harus ada penggantinya, sayalah orang yang beruntung itu. Hampir saja minggu ini saya nggak ngapa-ngapain. 😀

Minggu pagi itu hujan cukup deras. Saya dijemput oleh Kenneth-san, orang Tanzania yang seharusnya juga ikut festival ini tapi berhalangan pula. Beliau digantikan oleh Minh Tang-san, teman saya juga dari Vietnam, sesama penerima beasiswa Aichi. Kami bertiga (plus Linh-san, temannya Minh Tang, juga penerima beasiswa Aichi dari Jepang) di-drop di SD Futagawa (二川小学校). Tampaknya, karena hujan, acara jadi dialihkan di GSG (Taikukan) SD ini. Keren ya, SD punya GSG. Buesar banget lagi kompleksnya, padahal ini SD di desa loh.

Suasana di dalam Taikukan Futagawa Shogakko

Tanpa mengetahui kami harus apa, kami cuma mengikuti Kaasan (Kenneth-san manggilnya gitu, waktu itu kami belum tahu nama beliau, mungkin disebut begitu oleh anak-anak/orang festival lain karena kesenioritasannnya). Kaasan datang menjemput kami di parkiran sambil hujan-hujanan. Kemudian, beliau mengantar kami ke tempat ambil bento lalu ke Taikukan. Sampai disana, kami didudukkan di kursi dan disuruh lepas jaket. Lepas baju. Dan juga lepas celana. Hiks.

Oh ya, bentonya waktu itu sushi di balut telor (5 biji) dan dibalut nori (5 biji). Lupa saya foto.

Ganti kostum menjadi "semacam" Samurai
Ganti kostum menjadi “semacam” Samurai

Setelah aman karena pakai baju kuning di atas yang cukup menutupi sampai lutut, saya pun memelorotkan celana. Tapi ya tetep rasanya gimana gitu. Macem ditelanjangi ibu-ibu, di tempat terbuka, nggak tau disuruh pake baju apa. Sebelumnya saya nggak tau, walaupun di hadapan kursi saya ada pedang-pedangan sama senapan-senapanan tergeletak sih.

Setelah memakai baju beberapa lapis, baru kami sadar. Samurai, atau “semacamnya”. Saat ditanyain kepada tim yang memakaikan baju tersebut ke kami sih baju samurai. Walaupun nanti, setelah nanya ke orang lain, katanya bukan Samurai. Samurai kan kayaknya lebih jago atau mewah gitu pakaiannya. Baju yang kami pakai ini seperti SP gitu. Polisi atau bodyguard yang jaga parade di depan dan belakang barisan orang penting. Gitu lah.

Spesial Forces Have Come
Spesial Forces of Security Police Have Come

Lalu kami ngapain? 

Setelah ganti baju jadi seperti gambar di atas, kami menunggu di salah satu ruang di SD. Entah ruang apa, lab kali ya. Menunggu jadwal pembukaan. Lalu kami kembali ke taikukan, berbaris ikut pembukaan, dan kembali ke ruang tadi. Menunggu jadwal main.

Nah, ini festival ceritanya parade gitu. Aslinya, kalau nggak hujan, para peserta festival akan berjalan berkeliling kota, sambil beraksi di jalan. Kayak daimyou lagi lewat gitu lah. Ada yang menari. Ada yang jadi semacam orang pentingnya. Ada priestnya. Ada SPnya (salah duanya kami!). Dan yang terpenting ada yang jadi daimyou dan putri-putri cantiknya. Serius cakep! Aslinya, si daimyou dan putri ini bakal diusung pake tandu besar (bukan tandu ambulans), cem raja lewat gitu.

Sayangnya hujan. Jadi paradenya cuma di Taikukan tadi aja. Warga kota disuruh duduk di tengah dan kami mengelilingi mereka. Alhasil waktunya lebih cepat dari biasanya, hm. Yah, nggak seru ya.

Tahu dari mana aslinya di luar? Ini ada brosurnya:

Brosur Futagawa Matsuri 1
Nama peserta dan foto festival tahun kemaren
Brosur Futagawa Matsuri 2
Rute parade yang seharusnya

Oke berikut adalah foto pas parade di Taikukan. Karena saya SP, jadi susah juga kalau foto banyak-banyak. Agak gak enak, mana ini di dalam ruangan. Gampang ketahuannya…

Yah, segitu sajalah matsuri yang saya ikuti kali ini.

Oh ya, kalau penasaran dengan nama benda-benda yang saya pakai, saya menanyakan beberapa ke orang disana:

Si topi samurai: Minokasa. Capil ini bikin kepala sakit. Harusnya sih ada sapu tangan untuk alas, tapi waktu itu entah kenapa nggak dikasih. Kadang kuping dan dagu juga sakit kejepit talinya.

Si pedang dan pistol: Katana dan Teppou. Katana ini ada dua, panjang dan pendek. Yang panjang untuk tarung outdoor dan yang pendek untuk tarung indoor. Kalau di dalam ruangan pakai yg panjang entar kena plafon la… Si Teppou adalah senapan laras panjang jaman dulu yang pake di tusuk-tusuk sebelum bisa dipakai. Kayaknya.

Waraji
Waraji

Kaus kaki: Tabi. Benda warna putih yang saya pakai di kaki itu loh, di foto di atas. Si tabi ini boleh dibawa pulang, lumayan untuk dipakai di kamar, penahan dingin. Sayang ukuran yang dikasih kegedean. Sepatu saya ukuran 26, dikasihnya 27,5. Agak nonfungsional juga jadinya.

Alas kaki: Waraji. Si Waraji adalah sandal rotan yang bentuknya kayak sendal jepit. Cara memakainya diikat ke kaki. Kalau ikatnya kekuatan, sakit kakinya. Hm. Pencapit antara jempol dan telunjuk kakinya di ujung sandal sekali, jadi jari-jari kaki kita bakal keluar area alas sandal saat memakainya. Kalau saya tidak salah mengerti bahasa Jepangnya, saya juga dibolehkan bawa Waraji ini pulang, kalau mau. Tapi buat apa juga ya…

Bajunya? Saya lupa nanya. Yang jelas bukan kimono atau yukata. Kayaknya sih hakama.

Tinggalkan Balasan