Prolog
Setiap penghujung musim gugur, PPI Toyohashi mengadakan acara momiji-an ke suatu tempat. Bareng-bareng sesama perantauan dari Indonesia, jalan-jalan melihat daun merah, bersama-sama mengakrabkan diri, bersenang-senang di tengah riuhnya jikken. Acara musim gugur kali ini sedikit spesial, karena pilihan lokasi jatuh ke situs terkenal yang cukup jauh dari Toyohashi. Arashiyama, sebuah distrik wisata di pinggiran ibukota 1000 tahun Jepang, Kyoto.
Saya yang baru datang ini dimasukkan sebagai salah satu orang yg mengurusi jalannya acara. Panitia, sebutan kami. Orang baru, layaknya anak magang, diminta untuk berkontribusi dalam kepengurusan seperti ini. Namun, namanya juga magang, ya masih dituntun oleh para senior lah. Beberapa anak baru sudah dapat tugas ngurusin acara lain, saya dan Shofi-san kebagian dalam panitia ini sebagai karir pertama kami. Saya kebagian mengurusi pendaftaran dan Shofi yang menariki/menyimpan/membayar uang ongkos.
Setelah diskusi alot dan menegangkan, kegalauan, perhelatan jiwa dan raga, pertarungan antara yang hak dan batil, sekian pilihan lokasi wisata dirumuskan: Arashiyama (嵐山), Ohara shiki Sakuramatsuri (小原四季桜まつり), dan Higashi Koen no Koyo (東公園の紅葉). Berdasarkan voting yang hanya dilakukan mungkin 1% dari anggota, Arashiyama, lokasi terjauh pun terpilih. Mungkin Kyoto-nya itu yang jadi bargain. Mencengangkan, menantang akal, menggoncang iman! Seluruh 60 kursi yg tersedia pun full book. Benar, Kyoto itu bahan jualan yang menarik, apalagi biayanya hanya dibanderol 3000 yen saja.
Perjalanan yang Panjang dimulai dari Bangun Pagi-pagi
Pemandangan jalan di pinggir Sungai Hozu saat kami pertama sampai
Pukul 6.45 pagi, peserta diminta berkumpul di check point bus yang pertama: Parkiran Depan Kampus. Sebagai panitia, saya datang lebih pagi jam 6.35, telat lima menit dari yang saya janjikan. Itupun sudah ditelpon-telponin si bendahara. Matahari aja terbit jam 6.37… Sebagai orang Indonesia, dan berdasarkan pengalaman acara sebelumnya, kemungkinan telat selalu ada. Alhamdulillah, bus sudah berangkat dari kampus 7.15, hanya 15 menit terlambat dari jadwal.
Setelah menjemput beberapa orang Indonesia lain yang tersebar di Toyohashi (sebenarnya rutenya lewat sih, nggak muter), sekitar pukul 8 lewat si bus sampai di pintu tol Toyokawa. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 4 jam, pukul 12 sampai lah. Mengusir bosan duduk di bus, kami menonton Cars dan Madagascar 3. Saya yang agak pusing (baca: sakit kepala/mabuk) karena harus jadi kernet, menagihi uang ke orang, dan ngomong ke supir bus buat menyetelkan itu film.
Empat jam kemudian. Kami sampai di sekitar Kyoto. Atau itu yang kami kira. Soalnya, plang-plang sudah banyak kata “Kyoto”-nya. Situasi jalan berubah, kendaraan seolah bertambah berapa kali lipat. Sambil nunggu, kami makan siang di bus, bagi yang bawa bento. Saya makan sangat lambat karena 1) nasinya dingin dan 2) ini di bus. Dua jam kemudian, kami masih di Kyoto. Well, traffic sucks. Nasi saya juga masih ada.
Jam dua lebih sedikit, akhirnya sungai itu tampak juga. Maksud saya bukan sungai manusia yang menjejali area pertokoan dekat parkiran sana bukan. Sungai Hozu dan Jembatan Togetsukyo. Kami memang berencana parkir di sana. Setelah parkir, kami tidak bisa turun. Entah kenapa supir/tukang parkir mencegat kami. Diskusi dikit, ternyata kami cuma bisa parkir sampai jam 5. Tiga jam doang bok disana! Agak nego dikit, nggak bisa, nggak tahu siapa yg kekeuh. Diputuskan jam 5 harus sudah kumpul disini lagi, ntar dinego ulang. Toh, matahari bersembunyi pukul 4.45.
Acara pertama yang ingin dicapai sebelum menyebar adalah foto bareng satu rombongan. Setelah beberapa menit bingung cari latar, akhirnya Jembatan Togetsukyo yg bentuknya gitu doang itu terpilih jadi bekgron. Kami pun mengambil foto lalu berpisah masing-masing.
Hari itu sudah jam dua lewat. Belum shalat dzuhur. Jadi pertama harus cari tempat wudhu dan lapangan untuk shalat dulu. Hm. Si ibu-ibu belakang ini lambat, jadi saya tinggal bersama bapak-bapak yg inisiatif cari toilet. Setelah shalat, si bapak-bapak ini pun luambat juga. Akhirnya, saya lari seliweran kesana-kemari sendirian. Ya gimane, 3 jam doang slotnya. Sekarang sudah setengah 3, berkurang lagi jatah kelilingnya.
Jembatan Togetsukyo dan Sungai Hozu
Pertama, si jembatan gitu doang yang katanya landmark paling ikonik dari Arashiyama, jadi sasaran saya. Jembatan itu, lagi hamil besar. Overload manusia.
Setelah menyeberang jembatan, muter sebentar di taman.
Jembatan Kedua, Jinja di Pinggir Sungai, dan Tambahan Hati Perahu
Lari kecil dari taman, lalu ke jembatan yang kedua. Jalan bercabang dua. Saya pun ke kanan pengen lihat-lihat perahu yang diiket di pinggir sungai itu. Cakep kayaknya.
Eh, ada jinja di atas, lewat juga bentar. Turun lagi.
Foto di Jinja kecil dekat sungai, yang apa naon nggak tau, jadi nggak ada komentar di caption/mouseover foto
Hmmm. Kurang puas. Balik lagi ah bentar ke pertigaan tadi. Mau foto jembatan kedua tadi lagi deh.
Jalan Setapak, Horinji Temple, dan Panorama
Eh, ternyata di pertigaan tadi ada jalan kecil lurusnya. Nyobain ah. Ternyata lumayan bagus jalan setapak bertangga ini. Daunnya merah dan dekat. Jalan setapak ini ternyata menuju kuil di atas sana. Horin-ji Temple. Bisa melihat area dari tempat cukup tinggi dari sini. Seru juga. Waktu menunjukkan pukul 3 lewat sikit.
Jalur Setapak Menuju Horinji Temple
Dek Observasi dekat Kuil
Horinji Temple
Kuil yang nggak ada di peta (shg gak begitu terkenal) tapi malah saya kunjungi, mendingan situs lain aja yg dilihat harusnya
Kesalahan Besar: Menyusuri Sungai Hozu
Saya pun turun lewat jalan lain yang ternyata menuju ke gerbang depan si kuil tadi. Dan kalau jalannnya ditelusuri, kembali ke pertigaan sebelumnya. Saya pun akhirnya ketemu mas Igi dan mas Purwo yang shalatnya bareng tadi di jembatan kedua (pertigaa) tadi. Baru sampe sini mereka. Inilah kesalahan terbesar saya saat itu. Padahal saya sudah akan menyeberang jembatan lagi, bertualang di sisi satunya.
Mereka kembali ke arah tempat penambatan boat tadi. Jalur pinggir sungai itu masih terus memanjang hingga cakrawala, menuju hutan tinggi sana. Katanya, di atas ada taman monyet dan ada best view Arashiyama. Cuma satu kilo kok katanya. Oke deh, saya ikuti mereka. Eh, ternyata lambat juga, akhirnya saya duluan lagi.
Jalan, agak jauh, agak jauh. Agak jauh. Nggak tampak juga ujungnya, taman monyetnya, atau best view-nya.Pemandangan makin bagus sih. Para kapel yang naik perahu berdua di tengah sungai. Saya membayangkan, kalau keram tangannya gimana tuh, gak bisa pulang. Sungainya juga makin jauh makin biru. Hingga akhirnya 20 menitan jalan, nemu juga kandidat ujungnya.
Foto dari pinggir jalan setapak: dari Jembatan menuju Great View
Pemandangan di ujung sangat indah. Airnya biru sekali, walaupun hutan momijinya belum terlalu merah sih. Di sini kita juga bisa naik perahu besar, bukan perahu kapel yang harus mendayung sendiri tadi.
Sialnya, di ujung tidak ada Jembatan. Satu-satunya jembatan adalah jembatan Togetsukyo tadi. Harus backtrack deh, kalau mau menikmati situs di seberang. Jauh pula.
The Great View of Arashiyama dari Daihikaku Senkoji Temple
Di ujung sini, jalan mendaki ke atas. Tulisannya Greatest View Arashiyama, kuil naon gitu nggak inget. Masuk bayar 400 yen. Udah sampai ujung, capek, tanggung juga pikir saya. Ya sudah naik, bayar 400 yen dan dapat potokopian sejarah tentang tempat itu.
Naik agak capek juga, terjal. Lima menit sampai kalau buru-buru. Saya buru-buru. Sampai di atas disambut bel besar yg sedang dipukul orang yg kayaknya sambil berdoa. Di tiang bel tertulis, satu orang gratis mukul tiga kali. What?
Saya melewati saja itu bel dan naik ke puncak. Di atas cuma ada rumah kecil yg di dalamnya kayak ada altar dan perpustakaan. Wisatawan domestik sedang duduk disana sambil menulis-nulis di buka apa gitu. Dari rumah kecil itu kita bisa duduk dan rileks, melihat segala sesuatu di depan yang tampak kecil dan jauh, dan dunia yang tampak luas dan indah.
Ada teropong juga, bisa ngecek rumah kecil yang di sisi seberang. Rileks, ahhh. Kalau ada waktu kayaknya enak duduk disini menenangkan diri dari kegalauan. Sayang waktu saya sempit. Saya sudah setengah jam bergeser dari jadwal saya sendiri. Akhirnya saya cuma duduk dua menit lalu pamit lagi, buru-buru turun. Waktu sudah menunjukkan pukul 04.10.
Turun dari bukit itu, ke depan tangga dekat beli tiket masuk tadi, saya pun bertemu rombongan penyesat saya tadi. Baru sampai mereka dan bertanya-tanya di atas ada apa. Setelah sedikit mengobrol, saya lari menyusuri jalan setapak pinggir sungai tadi, kembali ke jembatan Togetsukyo. Lari, 10-15 menit lah. Tanpa tedeng aling, langsng menyeberang itu jembatan dan masuk ke lautan manusia yang memenuhi jalan.
Jalan Santai Menikmati Situs di Seberang
Sebenarnya, lebih enak kalau jalan-jalan sama rombongan yang saya jalan-jalan pas ke Nagoya kemaren. Jadi foto model soalnya. Jadi setelah pulang, ada excuse untuk minta foto. Jadi, gambar sendiri dan gambar pemandangan serta momen dengan orang lain dapat banyak kan. Tapi pada dimana tuh. Katanya di hutan bambu gitu. Jadi pengen liat, kerasa kayak Rurouni Kenshin kali ya di dalam hutan bambu Jepang. Eh, malah ketemu rombongan mas penyesat dan saya jadi terlempar berapa kilo ke lokasi “Great View Temple” tadi. Satu jam habis dah di jalan setapak itu, tanpa jadi foto model.
Setelah menyeberang, hari sudah mulai senja. Jadwal mentari terbenam hari itu sekitar 4.45. Sekarang 4.30, setengah jam lagi jam kumpul. Saya lari agak capek. Karena pinggir kiri kanan jalan yang berisi ribuan manusia itu adalah pertokoan, saya rehat sambil cari oleh-oleh dulu. Tapi saya dapatnya cuma kartu pos dan miniatur sesuatu doang. Huh.
Lanjut perjalanan melewati arus manusia dari arah berlawanan. Saya menemukan kuil dan deretan rumah kuno Jepang yang unik. Masuk katanya bayar berapa gitu, jadi saya nggak berani mendekati pintu gerbangnya. Cuma lewat dan foto-foto dari pinggir. Memutar itu kompleks sedikit, saya akhirnya ketemu rombongan orang Indonesia lain. Para ibu-ibu dan si bendahara. Pace saya jadi melambat karena kehilangan interest lagi. Lima belas menit lagi kumpul dan pohon bambu entah dimana. Objek lain juga entah apa. Akhirnya menikmati situs wisata itu dengan jalan santai bersama rombongan bendahara tadi. Sambil menuju parkiran bis.
Beberapa hal yang saya sadari setelah berjalan santai. Ini Kyoto. Pusat budaya Jepang. Jadi banyak sisi tradisional yang masih terjaga disini. Toko yang buka dari tahun 1800-an. Gadis-gadis muda yang pakai kimono cantik di tengah jalan, masih berbudaya. Makanan. Tulisan. Logat aneh hen hen khas dialek kansai. Hal tersebut sama sekali nggak saya sadari saat keliling dengan tidak sabar tadi. Harusnya, ke Kyoto juga rasain budaya dan tradisionalnya ya. Hmf. Buru-buru berburu foto dan keliling tanpa teman juga tidak memiliki akhir yg bagus, karena momen yg dikenang nihil (ya wong lari-lari sendirian) dan hasilnya hanya rentetan foto yang memanjangkan artikel ini. Penuh foto, dikit cerita. Hm, hm…
Epilog
Jam lima-an kami sampai di parkiran bus tadi. Hari sudah gelap pekat. Setelah Shofi ngobrol bentar sama si Supir, ternyata nggak papa sampe jam 7-an. Betsuni ii yo… Ichi-ni jikan. Akhirnya kami janji kumpul lagi (sama supir) jam 6.30. Kami pun pergi lagi. Bukan lihat pemandangan, karena sudah gelap dan beberapa sudah tutup. Tapi shalat magrib-isya dan cari makan makan. Waktu itu kami makan Tempura Soba.
Pukul 7-an kami meninggalkan area Arashiyama, nonton Toy Story 3 dubber Jepang (kayak anime jadinya!!!), dan sampai lebih cepat di Toyohashi. Perjalanan seperti perkiraan, hanya 4 jam. Kurang malah. Belum jam 11 malam sudah sampai kamar. Hari yang cukup menyenangkan, melelahkan tetapi kurang memuaskan. Kurang klimaks gitu. Hmm…
Harus ke Kyoto lagi kayaknya, kapan-kapan, pas musim dingin misalnya.
Fin. End of story.
Assalamualaikum. Mau tanya kalau tempat untuk shalatnya di daerah arashiyama ini dimana ya? Terima kasih.