Acara waktu itu: makan siang di restoran Iris, orientasi peraturan, terima duit, dan ketemu gubernur beserta pejabat entah siapa lainnya.
Hari ketiga saya di Jepang, saya sudah (harus) jalan-jalan ke Nagoya. Kota ini adalah ibukota prefektur (setingkat provinsi) saya berada sekarang, Prefektur Aichi. Toyohashi, tempat tinggal saya sekarang termasuk wilayah Aichi. Yah, kota yang termasuk kawasan countryside, alias ndeso.
Saya ke Nagoya pada tanggal 11 Oktober itu tidak lain karena pemerintah Prefektur Aichi berada disana. Saya harus datang pada hari itu untuk pertemuan pertama penerima beasiswa dari Gubernur Prefektur Aichi. Dengan kata lain, tanda tangan kontrak dan terima duit. ^^
Untuk menuju Nagoya dari asrama internasional tempat tinggal saya sekarang, kami harus naik bus dahulu dari kampus ke stasiun kota, Toyohashi-eki. Bus disini berangkat setiap sekitar 20 menit sekali. Perlu diketahui bahwa kampus saya TUT terletak agak jauh dari pusat kota. Wilayah desanya lah. Kebun kol semua di sekitar sini. Kalau sore/malam, bau menyenangkan tercium di seluruh penjuru wilayah. Bau pupuk kimia atau tai kebo, saya juga tidak yakin. Oh ya, dari halte Gikadai-mae (depan Gikadai, singkatan kampus saya) ke halte Toyohashi-eki adalah ujung-ke-ujung jalur bis Toyohashi ini. Ongkosnya cukup mahal, 430 yen.
Penerima beasiswa Aichi dari Toyohashi Gikadai ada empat orang. Dua orang Indonesia (saya, Albadr dan teman sekampus ITB saya, Shofi) dan dua orang Vietnam (Nguyen Linh dan Do Minh Tang). Karena saya baru datang tiga hari, waktu itulah saya bertemu mereka. Jumat itu, kami sudah janjian kumpul di halte depan kampus (Gikadai-mae, mae artinya depan) jam 8. Walaupun pada akhirnya ikutan turun bareng dari asrama, setelah kamar saya diketok Shofi karena mereka kelamaan nunggu saya dan Linh-san di lobi asrama.
Minh Tang-san dan Linh-san memakai jas rapi. Saya, karena waktu itu males pake jas, cuma pakai baju putih lengan panjang saja dan jaket gamais yang biasa saya pakai. Agak keliatan formal kan tuh jaket. Agak deg-degan juga waktu itu. Diterima nggak ya, nggak pake jas. Kan orang jepang katanya rapih, pas cari kerja harus pake jas getoh. Jadi ragu. Namun, Shofi-san juga nggak pake sih, jadi karena ada temen berani juga gak balik ke kamar ambil jas (Walaupun ternyata bawa blazer juga dia, tapi nggak bawa gunting).
Dari Toyohashi-eki ke Nagoya, ada dua pilihan jalur. Mau pakai kereta merk Meitetsu atau JR. Entah kenapa, saya selalu naik Meitetsu. Ongkos Toyohashi – Nagoya adalah 1700 yen, dengan tiket khusus bolak-balik (hari yg sama). Ongkos ini dikorting jadi 1500 yen pada akhir pekan.
Hari itu kedua kalinya saya naik kereta Meitetsu-line, yang pertama adalah saat perjuangan dari Bandara Chubu Centrair ke Toyohashi, super teler. Nggak tau waktu itu pakai kereta yg tipe apa, yg ada kami masuki aja. Belakangan saya tahu bahwa ada tiga tipe kereta cepat Toyohashi-Nagoya: express, limited-express, dan rapid limited express. Menurut situs meitetsu ini, kereta yang paling sedikit berhenti adalah rapid limited express (快特). Perjalanan kereta ini memakan waktu sekitar 45 menit.
Kami berangkat ke Nagoya berlima. Ada satu lagi senpai dari Vietnam yg juga mendapat beasiswa Aichi. Beliau juga yang menjadi penunjuk jalan di Nagoya walaupun Minh Tang juga yang kayaknya lebih tahu jalan. Kami kumpul di sebuah restoran dahulu. Lupa restoran apa. Waktu itu, saya juga cuma pasrah sebenarnya. Tidak tahu tujuan kami kemana dan mau apa. Nama gedungnya aja gak tahu. Wong nggak bisa baca surat undangannya…
Setelah agak nyasar dan nanya orang lewat, kami sampai di depan hoteal agak lebih cepat dari jam mulai. Kami datang sekitar pukul 11 kurang, sedangkan acara dimulai 11.45. Nongkrong dulu di depan hotel (atau restoran itu yak?), sempat ragu mau masuk, ngeri. Gedung tinggi dan tampak mewah. Namun, karena nggak nemu kursi di luar gedung dan agak panas, kami pun masuk dan bertanya ke lobi. Tenang, ada Minh Tang-san yg jago Japanese. Setelah ditanyakan dan memang kami kecepatan. Akhirnya nunggu di lobi. Saya duduk istirahat, beberapa liat gaun pajangan yg mahal, dan si Shofi-san pinjam gunting ke resepsionis.
Penerima beasiswa Aichi tahun ini ada 10 orang. Dua diantaranya kami dari Indonesia. Ada satu dari India. Satu dari China. Satu dari Taiwan. Satu lagi lupa. Dan sisanya empat dari vietnam. Gabung tahun kemaren, jumlah orang vietam saat itu paling banyak, 7 orang. Maklum, Aichi – Vietnam ada kerja sama apa gitu.
Setelah masuk ke jamnya, kami pun naik ke lantai 12. Restoran ternyata, mewah. Di meja tertulis daftar menu yang bakal dimakan waktu itu. Nggak ngerti itu apa. Dari daftar menu itu, keluarnya satu per satu, sesuai urutan dalam daftar. Misal, pertama keluar salad dulu. Sudah habis baru piring salad diambil dan diganti ikan bakar. Dan seterusnya. Yang jelas, setiap waiter-nya datang dan menyuguhi menu baru, saya dan Shofi-san menghujani itu waiter dengan pertanyaan yang sama: ada alkoholkah, babikah, dagingkah, dicampur kah. Sampai bosen kayaknya itu cowok.
Sayangnya saya lupa moto suasana pas makan siang itu. -.-
Setelah pertama kalinya makan sambil melihat pemandangan kota dari lantai 12, kami pun turun dan berjalan menuju balai kota (shiyakusho alias city hall). Lumayan dekat, 15 menit. Lumayan sekalian liat-liat kota sebentar. Mobilnya nggak begitu banyak waktu itu, kotanya juga tampak sangat bersih.
Tujuan kami selanjutnya adalah tempat dimana acara utama dilaksanakan: orientasi beasiswa. Tanda tangan macam-macam, pengumuman-pengumuman, dan ketemu orang penting.
Perlu dicatat bahwa hari itu hari Jumat, saya nggak shalat Jumat deh T.T. Terus, shalat biasanya? Sempet nego juga ke panitianya, ada waktu nggak di sela-sela acara. Di rundown tertulis selesai 16.30 soalnya, agak mepet. Boleh katanya, ntar dicariin ruangan juga. Pengennya di awal habis makan siang ini, cuma ternyata mobilisasi kan. Nggak sempet. Jadinya di antara acara kedua dan ketiga, sekitar jam 3an. Akhirnya, kami shalat di sebuah ruang di balai kota sana setelah urusan tanda tangan selesai dan duit di tangan.
Iya bok, duitnya di tangan. Dikasih cash! Kalau rupiah, 40 jeti gan (uang hidup bulan pertama + 6 bulan uang kuliah). Cash!! Ngeri juga waktu itu bawa pulangnya gimana. PNS Aichinya sih menyarankan ditabung dulu di bank, kalau masih buka. Cuma selesai acara waktu itu pukul 16.45an dan saya juga waktu itu belum punya akun bank. Jadi kantongin aja itu duit. Oh ya, beasiswa Aichi tidak seperti beasiswa MEXT yang mensyaratkan buka bank tertentu. Disini semua bank diterima, bulan kedua selanjutnya ntar ditransfer setiap tanggal 1 awal bulan.
Acara kedua adalah tanda tangan berkas dan orientasi. Buanyak banget dan entah apa isinya itu dokumen. Yang ditanda-tangan dan yang dibacakan. Oh ya, walaupun saya bilang tanda tangan, cuma saya yang waktu itu tanda tangan itu dokumen. Lainnya pakai inkan. Cap nama pribadi gitu. Entah kenapa di Jepang Inkan lebih dipercaya dibanding tanda tangan, padahal tinggal buat di toko atau beli di Hyakuen Shop. Gampang ditiru. Inkan アルバドル saya belum jadi waktu itu. Jadi saya pakai tanda tangan.
Setelah banyak tanda tangan, dokumen peraturan-peraturan dibacakan sebagai orientasi. Kapan harus laporan. Kapan ketemu lagi. Hal yang harus diperhatikan, saat keluar negeri, saat ganti rencana studi, dll. Larangan nggak boleh baito, dll [dan larangan lain].
Kemudian, kami pergi ke bank di bawah city hall. Entah kenapa saya merasa ini gedung keren. Gedung pemerintahan entah provinsi doang atau campur kota juga, lantai bawahnya bank-bank dan mungkin pertokoan, dan bawah tanahnya stasiun. Langsung. Kapan Indonesia bisa kayak gini ya.
Setelah pulang dari bank, sebagian kembali ke ruang kami tanda tangan tadi, menunggu saya dan Shofi shalat. Kami nggak ada yang bawa sajadah. Ruangnya nggak ada karpet dan shofa menutupi sebagian besar area. Untung arah kiblatnya agak pas, jadi nggak perlu minta izin gotong shofa. Petugas yang nungguin kami agak heran juga bertanya setelah selesai shalat, taihen ya, itu nggak apa-apa kalian naruh muka di lantai gitu apa?…
Setelah itu, kami langsung mobilisasi lagi ke gedung sebelah. Kagak tau itu gedung apa. Disana sudah ada meja bundar gede, kursi berurutan, dan teh hijau di meja. Ketemu Gubernurnya ternyata. Sambutan getoh. Kami disuruh perkenalan pakai bahasa Jepang ke bapaknya. Deg-degan juga, mana baru tahu nama universitas saya dalam bahasa Jepang pada saat itu juga lagi. -.-
Setelah itu ketemu beberapa orang lagi di City Hall. Entah siapa aja dan apa jabatannya kagak tahu saya. Kagak hapal. Kalau ditanyain, eh kamu ketemu deputi itu kan kemaren, saya nggak bisa jawab. Sempet ditanya soalnya beberapa minggu kemudian sama orang Aichi yang dateng ke kampus. Nah, pejabat yang kami temu waktu itu cuma melakukan phatic talk. Mereka ngelist satu-satu negara asal kami, dan mengingat-ingat pernah kesana nggak ya, ada objek atau makanan asyik apa disana, atau negaranya kayak mana ya… Yah gitu deh…
Pukul 17.00-an, kami ke basement City Hall dan ngesot berapa stasiun sebelah untuk akhirnya menaiki kereta Meitetsu lagi kembali ke Toyohashi. Pindah di stasiun Kanayama dan terkesan dengan betapa besarnya itu stasiun. Well, Stasiun Toyohashi yang kota kecil aja sebegitu gedenya, BIP kalah lah. Ini Kanayama yang stasiun bukan utama di Nagoya super besar lagi. Apalagi Stasiun Nagoya (berapa lantai basement itu, gile…). Apalagi Stasiun Tokyo!!! Tersibuk di dunia. Kapan ya Indonesia bisa…
Dan foto di atas diabil dari salah satu koridornya aja… Cuma situ doang yg dilewati. Kayaknya kapan-kapan perlu buat artikel ttg stasiun di Jepang degh, hm.
[…] Oktober 2013: Orientasi Beasiswa Aichi di Balai Kota Nagoya 12-13 Oktober 2013: Festival Kampus TUT – Gikadaisai 19 Oktober 2013: Menari di Jalanan […]
Salam Kenal mas. nama saya Vicky. Saya rencananya mau apply beasiswa aichi juga.
Mau tanya, untuk apply beasiswa ini apa harus bisa bahasa jepang dulu???
Terima Kasih